Selasa, 31 Januari 2012

Forum Utama Edisi III

Pertanian Organik Solusi Kelangkaan Pupuk

Kelangkaan pupuk dibeberapa daerah sentra produksi  di seluruh Indonesia, dapat berimplikasi serius terhadap ketahanan pangan nasional. Kelangkaan pupuk bersubsidi ini, mendongkrak harga pupuk di pasaran, khususnya pupuk urea, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah Lalu, bagaimana dengan pertanian organik?

 Lepas dari permainan distribusi atau oknum tertentu yang mencari keuntungan, sadar atau tidak sadar salah satu kelangkaan pupuk, juga disebabkan pemakaian pupuk oleh petani yang terus meningkat. Selama ini, jumlah alokasi pupuk disuatu daerah didasarkan pada rekomendasi  pemupukan yang dikeluarkan Departemen Pertanian. Misalnya, rekomendasi pemupukan urea untuk padi 250 kg/ha, jagung 400 kg/ha, tetapi petani memupuk padi melebihi itu antara 300 hingga 400 kg/ha. Jagung hingga 600 – 1000kg/ha.

Jumlah alokasi pupuk dari awal sudah tidak berimbang. Subsidi yang diberikan pemerintah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pupuk yang diajukan daerah. Karena itulah, Indonesia sedang menghadapi ancaman penurunan produksi padi, terutama di tingkat mikro petani dan lokalitas produksi.

Sedikit saja akses faktor produksi penting tersebut gangguan, ancaman terhadap penurunan produksi pertanian amatlah besar. Suka atau tidak suka, kini pupuk kimia, terutama yang berbahan baku nitrogen (urea) dan fosfat (SP-36/ TSP), sangat dibutuhkan petani.

Kerisauan terhadap produktivitas padi cukup beralasan mengingat selama ini, kondisi lahan sawah sudah manja dengan praktek pemberian pupuk anorganik  dengan dosis tak terkendalikan. Akibatnya, jika dalam sekali musim tanam kurang dosis apalagi tidak dipupuk, maka produksi bakal turun drastis.

Sekarang ini,  masyarakat petani melakukan unjuk rasa akibat kelangkaan pupuk. Mereka hidup dari pertanian dan mengandalkan hasil pertanian. Bisa dirasakan, ada pergeseran visi atau cara pandang dalam hubungan manusia dengan tanah, hasil pertanian dan produksi.
Pada masa revolusi hijau terkesan pertanian merupakan kegiatan mengeksploitasi lahan dengan menghasilkan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan masukan input kimia yang diperlukan tanaman. Tepatnya, lebih kearah eksploitatif agar tanah dengan sedikit input menghasilkan produk sebanyak-banyaknya. Dampaknya bisa dirasakan sekarang, tanah yang merekah (pecah-pecah) dimusim kemarau dan dimusim hujan tak mampu menyerap air sehingga menyebabkan banjir.

Pertanian Organik
            Sistem Pertanian organik sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi petani, tetapi karena pola pikir dan  serba ‘instan’,  sistem pertanian organik hanya dijadikan semboyan saja. Seperti dikatakan Menteri Pertanian Apriyantono, tidak jarang  pertanian organik dipahami secara teknis bertani yang menolak asupan kimiawi atau sebagai budidaya pertanian yang anti modernisasi. Bahkan, disamakan dengan pertanian tradisional. Padahal, pertanian organik bukan sekedar teknik atau metode bertani tetapi cara pandang, sistem nilai, sikap dan keyakinan hidup.

Padahal, penggunaan pupuk organik, memberi nilai tambah tersendiri. Tak bergantung dengan pupuk kimia, dapat meningkatkan produksi tanpa harus meningkatkan dosis pupuk setiap musim tanamnya, padi atau beras organik lebih sehat, karena itu bisa dihargai lebih tinggi.

‘’Pertanian organik pada dasarnya adalah sistem bertani dengan menggantungkan pada kearifan alam untuk mengendalikan populasi mahluk hidup dan menyediakan hara untuk pertumbuhan tanaman. Artinya dengan memperkaya tanah dengan     berbagai nutrisi dan mikroorganisme sebagai akibatnya, akan memberikan produk pertanian yang lebih banyak,’’katanya.

 Sementara itu Ketua Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina) Zaenal Sudjais menilai, pertanian organik dapat dijadikan alternatif pilihan dalam upaya mengatasi kelangkaan pupuk dan ketergantungan petani terhadap input pertanian dari luar. 

Karena itu, model pertanian organik ini harus terus dikembangkan dan didukung. Sebab sistem ini telah diakui dunia sebagai pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Secara umum model pertanian ini secara teknik tepat, secara ekonomi dapat berkembang, secara kultur dapat diterima, dan berdasarkan sains yang holistik. 

Sistem ini juga, dapat menjawab keprihatinan terhadap timbulnya berbagai permasalahan pada sebagian lahan pertanian. "Kita semua tahu, akibat menggunakan pupuk non organik dan pestisida kimia yang berlebihan, mengakibatkan terjadinya degradasi lahan pertanian,’’ katanya.
 
Selain itu semboyan “kembali ke alam” agaknya harus gencar disosialisasikan kepada petani terutama dalam menggalakkan penggunaan pupuk organik berupa pupuk kandang, jerami, sampah, pupuk hijau dengan sentuhan teknologi pengomposan cepat (bokashi). Pupuk organik diyakini dapat memperbaiki struktur dan tekstur tanah sawah yang cenderung semakin rusak akibat pemupukan terus menerus dengan pupuk kimia. 

Namun inipun akan terhadang kendala di lapangan, karena untuk menghasilkan 1 ton pupuk organik saja tidaklah mudah, sementara selama ini petani sudah terbiasa menggunakan pupuk produk pabrik yang tingkat respons serapan oleh tanaman relatif cepat. Tapi bagaimanapun wacana itu harus dimulai dari sekarang, sebab kelangkaan pupuk terutama pupuk bersubsidi terjadi setiap waktu di saat petani membutuhkan.(A)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar