BOKASHI KOTAKU BUKAN SEKEDAR KOMPOS
Sekilas pupuk Bokashi Kotaku sangat mirip dengan pupuk organik merk lain yang banyak beredar di pasaran. Anggapan itu tidak salah karena memang dibuat dari bahan organik. Tetapi, bila dibedah lebih dalam maka akan ditemukan sejumlah perbedaan. Apa saja itu ?
Memahami
perbedaan Bokashi Kotaku dan kompos ataupun pupuk kandang akan lebih mudah
dengan melihat sejarah pemupukan. Pupuk organik telah dipakai jauh sebelum
petani mengenal pupuk kimia. Cikal bakal kelahiran pupuk kimia sendiri di mulai
tahun 1839 yang berawal dari ditemukannya pengetahuan dasar tentang unsur hara
dan unsur kimia oleh Justus Von Leibig, seorang ahli kimia berkebangsaan
Jerman. Pada zaman dahulu nenek moyang kita memanfaatkan humus yang diambil
dari lapisan tanah paling atas (top soil) di hutan-hutan untuk memupuk tanaman.
Humus merupakan hasil pembusukan sisa-sisa tanaman maupun hewan oleh bakteri,
berbentuk remah dan berwarna gelap dari cokelat sampai hitam. Proses pembentukannya
memerlukan waktu bertahun-tahun karena prosesnya berlangsung secara alamiah
dengan memanfaatkan aktivitas bakteri.
Mengambil humus
secara terus menerus di hutan bukanlah tindakan yang bijaksana karena hanya
akan menciptakan lahan kritis baru. Oleh karena itu, manusia meniru pembentukan
humus dengan merekayasa kondisi lingkungan seperti pengaturan suhu, kelembaban,
kadar air, dan sirkulasi udara. Selain itu ada pula yang menambahkan pupuk
dengan kandungan N tinggi seperti urea sebagai sumber energi bagi bakteri
pengurai. Maksudnya adalah untuk mempercepat proses pelapukan bahan organik.
Humus buatan manusia dikenal dengan nama kompos. Namun, akhir-akhir ini petani Indonesia tidak
jarang yang menyebut kompos maupun pupuk kandang sebagai “bokashi”. Perubahan
istilah ini merupakan imbas dari kehadiran produk mikrobiologi merk EM-4 pada
tahun 1990-an. Pembuatan kompos lebih singkat dibandingkan proses terbentuknya
humus oleh alam yaitu 90 hari atau lebih. Bahan baku dapat berupa daun-daunan, jerami, sekam,
batang jagung atau rumput-rumputan dan kotoran sapi, kuda, kambing, gajah, dan
lain-lain. Kualitas kompos sangat ditentukan oleh keragaman bahan baku. Semakin banyak
jenis bahan organik kualitas kompos akan semakin baik. Sebab, masing-masing
bahan organik mengandung mikroorganisme yang berbeda sehingga jenis dan
populasinya lebih banyak.
Bagaimana dengan Bokashi Kotaku ? Pupuk
organik ini pun dibuat mengadopsi pola terbentuknya humus oleh alam. Bedanya
dengan kompos, Bokashi Kotaku dibuat dengan memakai Teknologi EM (Effective
Microorganisms), sebuah teknologi muda belia yang lahir di negara industri,
Jepang. Teknologi ramah lingkungan yang telah diterapkan oleh lebih 160 negara
di dunia. Di Indonesia, Teknologi EM dikembangkan Dr Ir GN Wididana, M.Agr atau
akrab disapa Pak Oles yang sekaligus pemegang lisensi produk EM-4. Sesuai
namanya, Teknologi EM memperkerjakan 80 spesies mikroorganisme yang efektif
untuk mengembalikan produktivitas lahan dan meningkatkan produksi tanaman.
Kelompok mikroorganisme “berkarakter” baik tersebut diseleksi dari alam, bukan
hasil rekayasa genetika.
Dengan Teknologi EM, Bokashi Kotaku bukan “dikerjakan” oleh bakteri pembusuk
tetapi mikroorganisme fermentif yang memfermentasikan bahan organik. Dari sisi
bahan baku, Bokashi Kotaku menggunakan bahan
organik yang beragam seperti kotoran ternak sapi, limbah segar halus dari aneka
jenis tumbuhan, kompos dari sampah organik kota, dan serbuk batuan alam untuk memudahkan
pelepasan hara. Aneka jenis bahan organik ditunjang dengan teknologi handal
membuat pupuk Bokashi Kotaku beda dengan yang lain. Kebanyakan pupuk organik
yang beredar beredar di pasaran saat ini hanya menggunakan bahan baku tunggal misalnya
dari kotoran sapi atau kotoram ayam saja.
Penerapan prinsip fermentasi sebenarnya tidak asing lagi bagi kita. Banyak produk makanan dan minuman seperti tempe, kecap, tauco, oncom, dan tape dihasilkan melalui fermentasi mikroba baik oleh bakteri, ragi maupun kapang. Tapi dalam pembuatan pupuk organik, prinsip fermentasi kali pertama diperkenalkan oleh Prof. Teruo Higa, penemu Teknologi EM. Hasilnya, sejumlah senyawa organik sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman, misalnya protein, karbohidrat, asam amino, asam nukleat, asam asetat, sampai biohormon dan zat antibakteri. Senyawa organik inilah yang membedakan Bokashi Kotaku dengan pupuk organik lain yang masih dibuat secara tradisional. Selain itu, tentu saja hara baik makro maupun mikro dalam bentuk unsur maupun senyawa organik. Keberadaan unsur hara dalam bentuk senyawa organik didukung oleh batasan pupuk organik yang diberlakukan di Malaysia. Negeri tetangga kita itu memberikan pengertian pupuk organik sebagai pupuk yang berasal dari produk biologis (tanaman dan herwan) dan sebagian besar unsur hara dalam bentuk senyawa organik.
Dua perbedaan mendasar telah tersingkap, pertama bahan baku Bokashi Kotaku yang lebih beragam, kedua
proses pembuatannya yang telah melibatkan teknologi. Pemanfaatan Teknologi EM
melahirkan perbedaan yang ketiga yaitu hasil fermentasi berupa senyawa organik
sederhana yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman serta
menciptakan agroekosistem yang tidak disukai oleh pathogen. Perbedaan keempat,
Bokashi Kotaku diinokulasi dengan mikroorganisme efektif atau yang
menguntungkan tanaman diantaranya bakteri pelarut phospat, lactobacillus,
fotosintetik, actinomycetes, bakteri nitrifikasi, dan yeast.
Meskipun lebih
cepat tetap saja tidak bisa mengimbangi kecepatan kebutuhan tanah yang berada
di ambang disfungsi akibat penggunaan pupuk kimia selama puluhan tahun. Di
pihak lain, kebutuhan pupuk organik semakin tinggi untuk memulihkan lahan
pertanian yang berada diambang disfungsi akibat dicekoki bahan-bahan kimia
selama bertahun-tahun.( Kadek Suiartana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar