Ada
Dolar Di Balik Udang
Peluang memperoleh untung dalam bisnis
udang masih terbuka lebar, karena udang adalah pasar dunia. Semakin
banyak orang makan udang, maka akan semakin terbuka peluang untuk mendapatkan
keuntungan sebagai produsen atau pemasar.
Rakyat Indonesia belum banyak yang makan
udang. Tapi, yang makan kerupuk udang sangat banyak. Kenapa
demikian? Karena harga udang mahal, dan harga kerupuk udang jauh lebih
murah. Kenapa harga bisa mahal dan bisa juga murah? Karena harga
tergantung dari daya beli masyarakat. Kalau masyarakat penghasilannya
tinggi, apapun terlihat murah. Kalau masyarakat penghasilannya rendah,
maka apapun terlihat mahal. Bagaimana cara meningkatkan daya beli
masyarakat? Tingkatkan produktivitas masyarakat dengan keahlian dan
ciptakan lebih banyak lapangan kerja. Itu saja.
Kalau ukuran udang 50 ekor per kilogram
harganya Rp. 35.000,- apakah murah atau mahal? Tergantung kantong
pembeli. Bagi mereka yang memiliki uang lebih, tentu murah. Bagi
mereka yang ‘bokek’ tentu mahal. Kalau harga udang mahal, mungkin lebih
baik membeli kerupuknya saja.
Bisnis udang sangat susah.
Pembibitannya susah, memeliharanya susah, mengurangi risiko alam juga susah,
penyakitnya banyak, risiko gagalnya tinggi, biaya produksi mahal, harga jualnya
turun-naik tergantung pasar. Jika harga bagus
dan produksi meningkat, petambak bisa untung. Jika harga jeblok dan panen
gagal, petambak tinggal pijit kening.
Kenapa petambak tidak pernah kapok
bisnis udang? Walaupun mereka sudah tahu, bahwa bisnis udang susah dan
penuh risiko? Jawabannya adalah, karena di dalam bisnis udang ada
dolar. Bangsa Amerika, Jepang dan Uni Eropa adalah bangsa pemakan
udang. Negara Indonesia
baru bisa memenuhi kebutuhan pasarnya hanya sebagian kecil saja. Sisanya
dipasok oleh Negara Cina, Thailand, Vietnam,
India
dan negara ASEAN lainnya.
Peluang memperoleh untung dalam bisnis
udang masih terbuka lebar, karena udang adalah pasar dunia. Semakin
banyak orang makan udang, maka akan semakin terbuka peluang untuk mendapatkan
keuntungan sebagai produsen atau pemasar. Masalahnya adalah harga
produksi udang dan risiko kegagalan semakin tinggi. Biaya produksi yang
meningkat disebabkan karena faktor harga yang meningkat untuk pakan,
obat-obatan, BBM dan upah tenaga kerja. Banyak perusahaan besar kolaps
gara-gara gagal panen, sehingga tidak bisa membayar hutang di bank. Tapi
banyak juga perusahaan-perusahaan yang hidupnya menjadi semakin besar gara-gara
berhasil bisnis udang. Semuanya itu adalah risiko. Untung dan rugi
tidak bisa dihindari dalam berusaha. Tapi haruslah dicatat, bahwa hanya
mereka yang serius menekuni bidangnya bisa berhasil dengan baik.
Keseriusan dan ketekunan dalam menjalankan bisnis udang itulah kemujurannya,
yang dicatat dalam pengalaman, ilmu, teknologi dan menejemen. Barang
siapa yang tidak serius dan tidak tekun, maka haruslah bersiap-siap untuk
gagal. Termasuk gagal dalam bisnis udang.
Bangsa Cina dan Jepang memiliki budaya
merenung, yaitu bagaimana merenungkan kembali keberhasilan dan kegagalan.
Apa penyebab keberhasilan dan kegagalan dalam bisnis udang haruslah
direnungkan dengan baik, sehingga mereka mengetahui jawabannya. Jawaban
dari setiap perenungan tentang keberhasilan dan kegagalan bisnis udang
dirangkum menjadi ilmu, teknologi dan menejemen. Dan mereka menguasai hal
itu sampai ke detil-detilnya. Untuk hal ini, kita perlu banyak belajar
dari mereka. Jangan sampai kita hanya mengetahui kulit luarnya saja dalam
bisnis udang, yaitu kalau untung karena nasib baik, kalau rugi karena nasib
buruk.
Jika bangsa kita mengetahui ilmu,
teknologi dan menejemen bisnis udang dengan baik, maka harga udang bisa menjadi
terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia.
Seperti halnya ikan mas, gurami, bandeng dan patin, yang harganya terjangkau
oleh masyarakat, karena masyarakat bisa meproduksinya sendiri, karena ilmu,
teknologi dan menejemennya sudah dikuasai. Jika semuanya itu bisa
dilakukan, maka pangsa pasar udang akan semakin terbuka lebar. 220 juta
rakyat Indonesia
siap membeli udang setiap hari. Bukan hanya kerupuknya saja.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar