Pertanian Organik Solusi Kelangkaan Pupuk
Kelangkaan
pupuk dibeberapa daerah sentra produksi
di seluruh Indonesia, dapat berimplikasi serius terhadap ketahanan
pangan nasional. Kelangkaan pupuk bersubsidi ini, mendongkrak harga pupuk di pasaran,
khususnya pupuk urea, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan
pemerintah Lalu, bagaimana dengan pertanian organik?
Lepas dari permainan distribusi atau oknum
tertentu yang mencari keuntungan, sadar atau tidak sadar salah satu kelangkaan
pupuk, juga disebabkan pemakaian pupuk oleh petani yang terus meningkat. Selama
ini, jumlah alokasi pupuk disuatu daerah didasarkan pada rekomendasi pemupukan yang dikeluarkan Departemen
Pertanian. Misalnya, rekomendasi pemupukan urea untuk padi 250 kg/ha, jagung
400 kg/ha, tetapi petani memupuk padi melebihi itu antara 300 hingga 400 kg/ha.
Jagung hingga 600 – 1000kg/ha.
Jumlah alokasi
pupuk dari awal sudah tidak berimbang. Subsidi yang diberikan pemerintah tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pupuk yang diajukan daerah. Karena itulah, Indonesia
sedang menghadapi ancaman penurunan produksi padi, terutama di tingkat mikro
petani dan lokalitas produksi.
Sedikit saja
akses faktor produksi penting tersebut gangguan, ancaman terhadap penurunan
produksi pertanian amatlah besar. Suka atau tidak suka, kini pupuk kimia,
terutama yang berbahan baku
nitrogen (urea) dan fosfat (SP-36/ TSP), sangat dibutuhkan petani.
Kerisauan
terhadap produktivitas padi cukup beralasan mengingat selama ini, kondisi lahan
sawah sudah manja dengan praktek pemberian pupuk anorganik dengan dosis tak terkendalikan. Akibatnya,
jika dalam sekali musim tanam kurang dosis apalagi tidak dipupuk, maka produksi
bakal turun drastis.
Sekarang ini, masyarakat petani melakukan unjuk rasa akibat
kelangkaan pupuk. Mereka hidup dari pertanian dan mengandalkan hasil pertanian.
Bisa dirasakan, ada pergeseran visi atau cara pandang dalam hubungan manusia
dengan tanah, hasil pertanian dan produksi.
Pada masa
revolusi hijau terkesan pertanian merupakan kegiatan mengeksploitasi lahan
dengan menghasilkan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan masukan input
kimia yang diperlukan tanaman. Tepatnya, lebih kearah eksploitatif agar tanah
dengan sedikit input menghasilkan produk sebanyak-banyaknya. Dampaknya bisa dirasakan
sekarang, tanah yang merekah (pecah-pecah) dimusim kemarau dan dimusim hujan
tak mampu menyerap air sehingga menyebabkan banjir.
Pertanian Organik
Sistem Pertanian
organik sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi petani, tetapi karena pola pikir
dan serba ‘instan’, sistem pertanian organik hanya dijadikan
semboyan saja. Seperti
dikatakan Menteri Pertanian Apriyantono, tidak jarang pertanian organik dipahami secara teknis
bertani yang menolak asupan kimiawi atau sebagai budidaya pertanian yang anti
modernisasi. Bahkan, disamakan dengan pertanian tradisional. Padahal, pertanian
organik bukan sekedar teknik atau metode bertani tetapi cara pandang, sistem
nilai, sikap dan keyakinan hidup.
Padahal,
penggunaan pupuk organik, memberi nilai tambah tersendiri. Tak bergantung
dengan pupuk kimia, dapat meningkatkan produksi tanpa harus meningkatkan dosis
pupuk setiap musim tanamnya, padi atau beras organik lebih sehat, karena itu
bisa dihargai lebih tinggi.
‘’Pertanian
organik pada dasarnya adalah sistem bertani dengan menggantungkan pada kearifan
alam untuk mengendalikan populasi mahluk hidup dan menyediakan hara untuk
pertumbuhan tanaman. Artinya dengan memperkaya tanah dengan berbagai nutrisi dan mikroorganisme
sebagai akibatnya, akan memberikan produk pertanian yang lebih
banyak,’’katanya.
Sementara itu Ketua Masyarakat Pertanian
Organik Indonesia
(Maporina) Zaenal Sudjais menilai, pertanian organik dapat dijadikan alternatif
pilihan dalam upaya mengatasi kelangkaan pupuk dan ketergantungan petani terhadap
input pertanian dari luar.
Karena itu, model pertanian organik ini harus terus
dikembangkan dan didukung. Sebab sistem ini telah diakui dunia sebagai
pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Secara umum model pertanian
ini secara teknik tepat, secara ekonomi dapat berkembang, secara kultur dapat
diterima, dan berdasarkan sains yang holistik.
Sistem ini juga, dapat menjawab keprihatinan terhadap
timbulnya berbagai permasalahan pada sebagian lahan pertanian. "Kita semua
tahu, akibat menggunakan pupuk non organik dan pestisida kimia yang berlebihan,
mengakibatkan terjadinya degradasi lahan pertanian,’’ katanya.
Selain itu
semboyan “kembali ke alam” agaknya harus gencar disosialisasikan kepada petani
terutama dalam menggalakkan penggunaan pupuk organik berupa pupuk kandang,
jerami, sampah, pupuk hijau dengan sentuhan teknologi pengomposan cepat
(bokashi). Pupuk organik diyakini dapat memperbaiki struktur dan tekstur tanah
sawah yang cenderung semakin rusak akibat pemupukan terus menerus dengan pupuk
kimia.
Namun inipun
akan terhadang kendala di lapangan, karena untuk menghasilkan 1 ton pupuk
organik saja tidaklah mudah, sementara selama ini petani sudah terbiasa
menggunakan pupuk produk pabrik yang tingkat respons serapan oleh tanaman
relatif cepat. Tapi bagaimanapun wacana itu harus dimulai dari sekarang, sebab
kelangkaan pupuk terutama pupuk bersubsidi terjadi setiap waktu di saat petani
membutuhkan.(A)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar