Salak
Slebor Antanan
Miliki Prospek Menguntungkan
Salak Slebor (Sleman Bogor) memang perlu diperhitungkan karena rasanya manis, lebih renyah dan
daya tahan simpannya lebih lama. Karena itu, salak Sleman yang ditanam di
Bogor Jawa Barat ini, banyak diminati
konsumen.
Pada Pameran Agro & Food Expo
di Balai Kartini Jakarta beberapa waktu lalu, salak slebor cukup
mendapat perhatian pengunjung. Namanya yang ‘nyeleneh’ dan rasanya yang renyah
dan manis membuat salak yang dibudidaya
di Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Antanan,
berada di kampung Tarikolot Desa Cimande Kecamatan Caringin, Bogor Jawa Barat ini, cukup mendapat
perhatian pengunjung. Bahkan laris manis terjual.
Kalau datang
langsung ke tempat budidya salak yang ditanam 100% organik sejak 11 tahun silam
ini, boleh gratis makan langsung di lokasi budidaya. Tatapi dibatasi bagi
mereka yang ingin melakukan penelitian dan observasi. Kalau ingin dibawa pulang,
baru bayar. Perkilonya hanya Rp. 6000. Kalau membeli di toko-toko buah dan
supermarket di sekitar Bogor
berkisar antar Rp.8000 hingga 10.000.
Menurut Pengelola P4S Antanan Nur Ichwan, salak slebor
ini pertama kali ditaman di Bogor
secara komersial pada 1997. Ketika itu alm H Hamid membawa bibit salak pondoh
cangkok dari Sleman, Yogyakarta. Sebanyak
2.200 salak ditanam di kebun seluas 1 ha. Jarak tanam bervariasi, 2,25 m x 1,5
m, 2 m x 1,5 m, dan 1,75 m x 2,25 m. Di sekeliling kebun 700-800 biji salak
ditanam sebagai pagar. 'Itulah cikal-bakal slebor di Bogor,' kata Ichwan anak sulung
mendiang H. Hamid.
‘’Sebenarnya, Bogor ini
terkenal sebagai kota
salak. Buktinya nama-nama tempat di Kota Hujan itu menggunakan kata salak.
Misal Gunung Salak dan Cisalak. Anehnya, tak ada salak yang manis di Bogor. Kebanyakan asam
dan berair. Almarhum Abah saya (ayah-red),
membudidayakan slebor secara organik menggunakan teknologi EM4,’’katanya.
Kenapa memakai teknologi EM4? Ichwan menjelaskan bahwa
Alm H, Hamid merupakan petani yang aktif mendirikan paguyuban yang disebut
dengan P4s Antanan. Karena cinta dengan pertanian, almarhum yang selalu haus
informasi dan cepat mengadopsi teknologi baru menjadi kader penggerak
pembangunan pertanian di desanya. Beberapa komoditi pertanian diintegrasikan
menjadi usaha tani terpadu yang saling keterkaitan antara komoditas dalam
meningkatkan pendapatan usaha taninya.
Nama Antanan sendiri, diambil dari rumput liar yang
tumbuh di pematangan sawah atau ladang yang suka dimanfaatkan untuk lalab dan
obat. Dari manfaat itulah oleh kelompok tani Antanan dijadikan sebagai filosofi
bahwa antanan adalah tumbuhan liar di pematang sawah atau ladang yang suka
diinjak-injak tapi tidak mati bahkan bisa dijadikan lalab atau obat bahkan
sampai saat ini terbukti pada saat krisis yang berkepanjangan hanya sektor
pertanian yang mampu bertahan.
Sebagai pecinta lingkungan, ia selalu bekerja dan
mengajak kelompoknya untuk memanfaatkan limbah pertanian menjadi pupuk organik.
Maka itu dari hasil kerja kerasnya,
beliau mendapat kepercayaan dari
pemerintah pada tahun 1994 untuk mempelajari pertanian organik akrab lingkungan ke Thailand melalui Depertemen
Pertanaian di Bogor. Di negara itulah, H. Hamid mengenal teknologi EM4.
Lahan seluas 1 ha di ketinggian 600 m dpl itu bekas
kebun pepaya yang dikelola organik selama 8 tahun. Mulai ditanami salak. Lantaran
lahan telah dikelola secara organik selama 8 tahun, maka pondoh pun dibudidaya
dengan sistem 100% organik. ‘’Ketersediaan hara tanah untuk tanaman sudah
stabil. Makanya Abah saya yakin bakal berhasil dengan organik murni menggunakan
teknologi EM4,’’ katanya.
Jadi, pupuk
organik berupa kotoran kambing dan ternak lainnya difermentasi mikroba EM4. Disebut juga
bokashi pupuk kandang. Dengan fermentasi mikroba, kematangan pupuk kandang
hanya dalam 3-4 hari atau paling lama 1 minggu.
Setiap rumpun salak terdiri dari 2 tanaman, diberi 3-5
kg bokashi pupuk kandang. Perlakuan diulang 6 bulan sekali, tepatnya saat awal
dan akhir musim penghujan. ‘’Cara pemberian langsung 6-12 kg karena diletakkan
di tengah-tengah 2 rumpun tanaman,’’jelas Ichwan.
Di tepi bedengan berjarak 50 cm dari rumpun salak
dibuat selokan sedalam dan selebar 50 cm. Panjang mengikuti bedengan. Di
sanalah daun dan pelepah dibenamkan. Di atas residu tanaman itu ditabur bokashi
secara tipis untuk mempercepat penguraian.’’ Ini membuktikan bahwa teknologi
Em4 cukup menjadi andalan pertanian murni organik dan hasilnya tak kalah dengan
yang anorganik bahkan lebih renyah, lebih manis dan lebih tahan lama,’’katanya.
Keyakinan pengurus P4s membuahkan hasil setelah
ditunggu selama 2 tahun, karena tanaman salak yang diharapkan mulai belajar
berbuah. ‘’Dari 1 ha dipanen 556 kg.
Pada 2000 produksi melonjak hingga 6 ton/ha, Pada 2005 berlipat, 11,7 ton,
2006, 16,4 ton. Buah yang dipanen pun lebih renyah ketimbang pondoh asli. Lama
simpan salak pipilan 8 hari sejak petik dan salak tandan 12 hari. Pondoh biasa
hanya 6 dan 10 hari. Uniknya saat pondoh di Sleman tidak berbuah pada
Mei-Agustus, salak slebor berbuah sebagai buah apitan,’’katanya.
Kini Salak Slebor kian populer di kalangan petani
salak dan masyarakat yang mencintai pertanian organik. Dari sukses berorganik
di lahan 1 ha, pengembangan meluas hingga 6 ha yang ditanam 20 pekebun. Tak
kurang menteri pertanian Malaysia,
pada tahun 2002, Datuk Mohd. Effendi Norwawi tertarik mencicipi langsung ke
Cimande, Bogor.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar