Kamis, 02 Februari 2012

Forum Utama edisi I

Menilik Kesadaran
Pengusaha Menjaga Lingkungan

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada tanggal 5 Juni, merupakan moment yang tepat untuk menarik kepedulian masyarakat dunia terhadap persoalan  lingkungan hidup, termasuk pelaku industri.

 Dari beberapa kasus di kota besar seperti Jakarta, data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyebutkan, hanya 10 persen dari 200 perusahaan industri di Jakarta yang memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) tidak sesuai dengan kelayakan. Data lain menyebutkan, sedikitnya 54 pabrik tak memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Celakanya, pabrik-pabrik itu termasuk penghasil limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Melalui  sungai, perusahaan yang menyisakan zat kimia itu telah mengalirkan limbah ke laut.

Diperkuat juga data Kepala Biro Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, bahwa kadar COD dan BOD yang mencemari Teluk Jakarta masih tinggi. Ini membuktikan bahwa masih ada pabrik atau industri yang menggelontorkan limbah sampah maupun limbah cair ke sungai yang mengalir dari hulu hingga ke hilir laut.

Peduli lingkungan seringkali menjadi diskusi yang menarik dikalangan masyarakat sekarang ini. Persoalan pencemaran lingkungan, seakan sudah cukup mendapat tempat di masyarakat, seiring merebaknya berbagai isu global warning akibat pengolahan alam yang kurang bijaksana akibat kentalnya berbagai kepentingan banyak pihak, khususnya negara-negara maju yang kian menuntut bagi survivalitas kepentingan industri strategis mereka, yang berdampak kepada masalah lingkungan hidup.

Namun sayangnya, kepedulian itu masih merupakan paradigma dengan pandangan-pandangan yang berbeda. Penyebabnya jelas, belum adanya kesamaan pandang pihak-pihak yang berkepentingan terhadap esensi program penanganan masalah dampak lingkungan hidup itu sendiri.

Misalnya saja,  program pengendalian limbah industri, ada kepentingan yang berbeda. Baik dari sudut pandang pengusaha, penguasa dan masyarakat awam, bahkan dikalangan internal perusahaan industri sendiri, perhedaan persepsi dan interpretasi bisa terjadi.

Pengusaha akan lebih banyak melihat, penanganan masalah pencemaran lingkungan tersebut, tidak lebih dari sebuah keterpaksaan dalam rangka membantu mencari dan mempermudah akses pengusaha industri yang bersangkutan untuk masuk ke pasar global yang memang semakin hari mematok persyaratan yang semakin ketat, terutama dalam masalah lingkungan hidup. 

Persoalan lainnya adalah kendati kemajuan sains dan industri modern berupaya untuk mewujudkan lingkungan hidup yang lebih baik. Namun nyatanya, kemajuan itu justru memunculkan beragam polusi, kerusakan lingkungan hidup, dan terganggunya keseimbangan ekosistem alam.

          Padahal seperti dikatakan pengamat lingkungan hidup, Dr. Nadjamuddin Ramly, M.Si, paradigma memahami lingkungan adalah bagaimana memperlakukan lingkungan sebagai teman hidup yang harus dirawat sesuai dengan norma agama, hukum negara dan etika masyarakat, bukan sebaliknya malah merusak. Pemanfaatan untuk keuntungan materi memang sah-sah saja, namun semua itu harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sebab, lingkungan hidup merupakan bagian tak terpisahkan dari jagat raya dan keberlangsungan kehidupan alam semesta dan pantas diperlakukan secara manusiawi.

Kearifan Lingkungan
Menteri Lingkungan Hidup  di Jakarta mengatakan, bangsa Indonesia mempunyai kemajemukan akar budaya, agama, adat istiadat, yang kaya kearifan lingkungan hidup. Dan dapat menjadi modal dalam menjalankan pembangunan di Indonesia. Kearifan lingkungan telah dimiliki oleh nenek moyang telah menyatu dalam etika dan norma berkehidupan pada masyarakat Indonesia dalam berinteraksi dengan alam. kekayaan bangsa  akan kearifan lingkungan ini, seyogyanya tidak hanya dipandang sebagai mozaik yang indah tetapi dapat dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk menyelenggarakan pembangunan yang selaras dan harmoni dengan alam.

Kearifan lingkungan yang memuat nilai sangat mendasar juga terdapat di dalam ajaran semua agama di negeri ini. Mulai dari Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghuchu merupakan sumber etika dan norma dalam berinteraksi dengan alam.

‘’Namun sayangnya, kearifan lingkungan hidup kini sedang mengalami proses eliminasi yang ditandai dengan perubahan tatanan sosial, berkurangnya nilai kemanusiaan, berkurangnya kemandirian masyarakat, kemiskinan etika lingkungan sehingga menyebabkan terdegradasikannya sumberdaya alam dan lingkungan pendukung kehidupan manuisia,’’katanya.

Pandangan rasional Antroposentris, hanya mengandalkan sains dan teknologi secara sepihak dalam memperlakukan alam untuk kepentingan hidup manusia, disisi lain telah terbukti membawa bencana lingkungan yang menyengsarakan manusia. ‘’Bencana-bencana lingkungan yang melanda Indonesia seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, peluapnya lumpur panas dan sebagainya dapat menjadi pelajaran dan sekaligus peringatan kepada kita semua untuk berprilaku lebih arif terhadap alam sekitar,’’katanya.+       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar