Jumat, 03 Februari 2012

Forum Utama Edisi VI

SRI Segera Dikembangkan Di Indonesia
Implementasi System of Rice Intensification (SRI).di Indonesia masih tergolong lambat karena sulitnya mengubah paradigma budidaya dari konvensional yang memerlukan transfer ilmu ke petani. Tak hanya itu, komitmen pemimpin formal serta non formal juga masih minim.
Ironis sekali jika Indonesia sebagai negara agraris. Negara yang dulunya memiliki lahan pertanian yang subur, kini harus mengimpor beras. Dan parahnya lagi, para petani banyak yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Sekarang ini sebagian petani menganggap bertani bukan pilihan usaha yang dapat menopang kebutuhan keluarga, Usaha pertanian sudah tidak mampu membiayai kebutuhan sekolah anak-anak mereka.
Terbukti,  banyak lahan-lahan persawahan disewakan oleh petani atau di gadaikan. Dan ada juga yang dijual. Kalau melihat lahan-lahan persawahan yang luas, belum tentu sawah tersebut milik petani, pemiliknya bisa jadi orang kota. Sedang petaninya hanya sebagai  penggarap saja.
Coba  bayangkan, kondisi bertani sekarang ini, petani memerlukan biaya yang  tidak kecil. Kebutuhan pupuk seperti urea, KCl, TSP, dan pestisida saja sangat tinggi. Sementara hasil produksi yang mereka peroleh tidak mengalami peningkatan bahkan cendrung turun. Belum lagi jika terserang hama penyakit, atau kalau sudah panen, harga gabah sering dipermainkan, semua itu sangat merugikan petani.         
Melihat kondisi pertanian seperti ini, banyak petani yang pasrah dan putus asa. Untuk mempertahankan hidupnya banyak dari kalangan petani yang mencari usaha sampingan di kota besar misalnya dengan menjadi kuli bangunan, menjadi pengemis musiman seperti terjadi di sebuah desa di Jawa Tengah, dan berbagai profesi buruh kasar lainnya selama menunggu masa panen yang sudah tidak terlalu mereka harapkan lagi dan hasilnya hanya sekedar cukup untuk dimakan sendiri bersama keluarganya saja.         
Karena itu petani membutuhkan sebuah inovasi dan teknologi baru dalam bidang pertanian.agar bertani lebih memberikan harapan penghidupan yang layak. Salah satunya dengan menerapkan metode tanam System of Rice Intensification (SRI).
SRI adalah sistem budidaya padi yang mampu meningkatkan produktivitas tanaman dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara.
Menurut Ir Agus Susewo, Direktur Direktorat Pengelolaan Lahan Departemen Pertanian, teknologi SRI merupakan solusi untuk mencapai ketahanan pangan.’’Teknologi SRI sebagai solusi karena usahatani itu ramah lingkungan, hemat air, hemat bibit, dan produksi tinggi,’’katanya.
Menurut Agus, metode SRI secepatnya akan diterapkan di seluruh lahan pertanian di Indonesia. Sebab, metode asal Madagaskar itu dianggap solusi tepat bagi petani untuk mendapatkan hasil panen yang lebih baik
Ketua Tim Proyek Pengembangan Sistem Irigasi Terdesentralisasi (DISIMP) Indonesia Bagian Timur, Shuichi Sato Asal Jepang di Jakarta mengatakan, SRI merupakan teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktivitas tanaman dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara.
Budidaya padi dengan metode SRI yang dikembangkan di sejumlah wilayah Kawasan Timur Indonesia terbukti mampu meningkatkan produktivitas lahan dari 5,0 ton per hektar (ha) menjadi 7,4 ton/ha.
Metode tersebut, tambahnya, terbukti berhasil meningkatkan produktivitas padi sebesar 50 persen bahkan di beberapa tempat mencapai 100 persen.
Uji coba pola SRI pertama di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6,2 juta ton/ha dan musim hujan 1999/2000 yang menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha.
Menurut Konsultan pada Bank Jepang untuk Kerjasama Internasional (JBIC), budidaya padi dengan sistem ini mampu menghemat air hingga 40 persen sehingga sesuai dikembangkan di wilayah yang curah hujannya rendah seperti Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur maupun Kawasan Timur Indonesia lainnya.
Dari hasil penelitian Pusat Penelitian Pertanian di Puyung, Lombok NTB, terbukti metode asal Madagaskar memberikan hasil rata-rata 9 ton/ha dibanding penanaman konvensional yang hanya 4-5 ton/ha.
Selain hemat air dan produktivitasnya tinggi, sistem tanam model tersebut mampu menghemat biaya petani karena hanya memerlukan bibit 5 kg/ha sementara dengan sistem biasa membutuhkan bibit 25kg/ha.
"Teknik SRI tidak memerlukan bibit padi yang khusus, petani bisa menggunakan benih hasil penangkaran sendiri sehingga tidak akan ada ketergantungan pada benih impor," kata Kepala Perwakilan Nippon Koei di Indonesia itu.
Sato mengungkapkan, dari segi lingkungan metode tanam SRI mampu meredam pemanasan bumi karena membantu memperkecil sebaran gas methane dari lahan persawahan sehingga mengurangi penebalan lapisan gas "rumah kaca".
Namun secara umum, penerapan metode ini masih menemui sejumlah kendala. Diantaranya sulitnya merubah paradigma budidaya dari konvensional yang memerlukan transfer ilmu ke petani, pasar beras organik SRI yang masih minim, dan komitmen pemimpin formal serta non formal.
Seperti dikatakan pakar bioteknologi Ilmu Tanah IPB, Prof. Dr. Iswandui Anas, implementasi system SRI di Indonesia masih tergolong lambat karena sulitnya mengubah paradigma bahwa bertanam padi harus  tergenang, mulai tanam setelah benih berumur 30 hari dan dalam satu lubang taman harus enam benih.
Tak ada kata terlambat, jika petani menginginkan produktifitas pertanian yang tinggi, salah satu alternative yang bisa menjadi pilihan adalah dengan System Of Rice Intensification (SRI) (A)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar