Jumat, 03 Februari 2012

Coloum Pak Oles edisi VI

RAKYAT INDONESIA MAKAN NASI SETIAP HARI

Rakyat Indonesia tidak bisa hidup tanpa nasi, karena budayanya makan nasi.  Kita merasa belum makan kalau belum makan nasi, walaupun perut sudah kenyang makan camilan.  Istilah bekerja diidentikkan dengan mencari sesuap nasi, demi sesuap nasi, memberikan arti yang sangat dalam, bahwa nasi sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia.  Dalam kebudayaan agraris masyarakat desa, mereka mewujudkannya dalam upacara dan selamatan atau syukuran dengan menggunakan beras atau padi sebagai sarana.  Mereka memberikan bantuan atau sumbangan kepada pemilik hajatan dengan beras.  Mereka menghias bambu-janur dengan bulir padi.  Bahkan umat hindu di Bali menutup upacara persembahyangan dengan menaruh beras di kening dan di jidatnya.  Beras adalah lambang kesuburan yang sekaligus sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia. 

Pada saat kita menyuap nasi, apakah kita membeli nasi atau menanaknya sendiri, kita tidak pernah mau peduli siapa yang yang menanam padi dari nasi yang kita makan saat ini.  Demikian juga saat kita membeli beras di warung atau di super market, kita juga tidak mau peduli akan jerih payah dan tetesan keringat petani untuk menghasilkan padi di tengah sawah.  Kita juga tidak mau peduli apakah petani yang menanam padi tersebut sudah mandapatkan keuntungan sehingga hidupnya bertambah sejahtera atau semakin melarat.  Kita juga tidak mau peduli akan luas sawah yang semakin menyusut, mencapai satu persen pertahun, atau sepuluh persen per sepuluh tahun, karena tanah sawah yang umumnya datar di daerah perkotaan sangatlah bagus untuk kawasan industri dan perumahan.  Kita juga tidak mau peduli akan debit air sungai dan sumber-sumber air untuk mengairi sawah menjadi semakin mengecil, sehingga kemungkinan gagal panen dan kerugian petani semakin meningkat.  Kita juga tidak mau peduli tentang semakin mahalnya harga pupuk, obat dan ongkos merawat tanaman padi, sehingga biaya produksi untuk menghasilkan sekilo beras menjadi semakin membengkak.  Yang kita selalu pedulikan adalah, berasnya enak, berkualitas tinggi dan harganya murah, bila perlu gratis dari pemerintah. 

Suara dan teriakan petani akan kerugian dan capeknya menghasilkan beras tidak didengar oleh siapa-siapa, kecuali oleh sesama petani padi.  Pemerintahpun turut mengambil jalan pintas dengan mengimpor beras yang harganya disubsidi, sehingga harga beras menjadi stabil pada tingkat rugi produksi.  Produksi padi 26 juta ton pada tahun 1985 mengantarkan Indonesia menjadi negara swasembada beras, yang merupakan tahun fenomenal dan kebanggaan negara sebagai negara swasembada, sekaligus sebagai proyek mercusuar, yang penting pernah sawasembada walau satu kali.  Selanjutnya negara kita rajin mengimpor, karena memang benar-benar kekurangan beras.  Walaupun produksi beras meningkat dari 34 juta ton pada 2006 dan 36 juta ton pada 2007, kenyataannya negara kita tetap mengimpor beras, karena harus ada cadangan, karena penduduknya yang 220 juta orang itu setiap hari makan beras 300 gram per orang atau dibutuhkan 70 juta kilogram beras setiap hari. 

Jika demikian adanya, maka program swasembada beras tidak sepenuhnya dibebankan kepada petani padi yang susah mendapat untung, bahkan sering rugi. Pemerintah juga tidak mengambil jalan pintas dengan mengimpor terus dan terus mengimpor, yang justru membuat kita tergantung sampai kita bingung sendiri mencari jalan keluarnya.   

Jika ada air di lahan pertanian, pastilah petani ingin menanam padi, walaupun harga padi murah.  Tujuan petani menanam padi adalah agar aman, agar nyaman, walaupun tidak ada kerja, walaupun tidak ada lauk, walaupun ada bencana alam dan kerusuhan, asal ada nasi, mereka masih bisa makan.  Sebagian besar masyarakat yang bekerja di luar sektor pertanian selalu berpikir, jika ada uang beraspun bisa dibeli.  Mereka juga lupa, bahwa, walaupun ada uang, jika tidak ada beras, dimana membeli beras, dan pasti tidak makan nasi.  Disamping faktor  budaya memanam padi, maka faktor keuntungan juga sangat berpengaruh untuk mendorong petani mau beramai-ramai menanam padi.  Bahkan, jika memberikan keuntungan yang bagus, maka akan banyak ada pengusaha yang mau berinvestasi di lahan sawah, sama halnya banyak pengusaha yang mau berinvestasi di perkebunan, pertambakan atau peternakan.  Dalam kondisi menanam padi yang merugi, maka segala beban kerugian akan ditanggung oleh petani padi dan pemerintah melakukan pemborosan dana yang tidak perlu dengan terus mengimpor beras.

Jika harga beras per kg setara dengan dua dolar US, dengan keuntungan 30%,  maka pemerintah tidak usah pusing memikirkan bagaimana caranya mendorong petani agar terus menanam padi.  Pengusaha akan datang berduyun-duyun mencari lahan kering yang bisa dijadikan sawah, dengan teknologi pengairan menggunakan mesin, sumur bor, bendungan dsb. Seluruh rakyat Indonesia yang ada di desa dan di lahan pertanian akan bekerja saling membahu untuk menanam padi, karena ada untung.  Lapangan pekerjaan di sektor pertanian padi akan tercipta dengan sendirinya. Jika petani untung, maka seluruh rakyat indonesia yang sebagian besar petani akan untung juga, maka negara dan rakyat akan sejahtera.  Swasembada pangan tercapai karena terciptanya keuntungan bersama, bukan sekedar proyek mercusuar, seperti buah labu yang menaruh bunga di pantatnya, sebenarnya rugi tetapi berpura-pura untung.  Ingatlah hukum kreativitas: bahwa keuntungan akan meningkatkan kreativitas dan kesejahteraan.  Jika rugi terus, bagaimana petani bisa diiming-imingi mau terus menanam padi.  Ingat : Rakyat Indonesia setiap hari makan nasi.   Kita harus berani mencari jalan keluar yang membela petani padi.@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar