Menilik
Kesadaran
Pengusaha Menjaga Lingkungan
Peringatan
Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada tanggal 5 Juni, merupakan moment
yang tepat untuk menarik kepedulian masyarakat dunia terhadap persoalan lingkungan hidup, termasuk pelaku industri.
Dari beberapa
kasus di kota besar seperti Jakarta, data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
menyebutkan, hanya 10 persen dari 200 perusahaan industri di Jakarta yang
memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) tidak sesuai dengan kelayakan.
Data lain menyebutkan, sedikitnya 54 pabrik tak memiliki Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL). Celakanya, pabrik-pabrik itu termasuk penghasil
limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Melalui sungai, perusahaan yang menyisakan zat kimia
itu telah mengalirkan limbah ke laut.
Diperkuat juga data Kepala Biro
Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta,
bahwa kadar COD dan BOD yang mencemari
Teluk Jakarta
masih tinggi. Ini membuktikan bahwa masih ada pabrik atau industri yang
menggelontorkan limbah sampah maupun limbah cair ke sungai yang mengalir dari
hulu hingga ke hilir laut.
Peduli lingkungan seringkali menjadi diskusi yang
menarik dikalangan masyarakat sekarang ini. Persoalan pencemaran lingkungan, seakan
sudah cukup mendapat tempat di masyarakat, seiring merebaknya berbagai isu global warning akibat pengolahan alam
yang kurang bijaksana akibat kentalnya berbagai kepentingan banyak pihak, khususnya
negara-negara maju yang kian menuntut bagi survivalitas
kepentingan industri strategis mereka, yang berdampak kepada masalah lingkungan
hidup.
Namun sayangnya, kepedulian itu masih merupakan
paradigma dengan pandangan-pandangan yang berbeda. Penyebabnya jelas, belum
adanya kesamaan pandang pihak-pihak yang berkepentingan terhadap esensi program
penanganan masalah dampak lingkungan hidup itu sendiri.
Misalnya saja,
program pengendalian limbah industri, ada kepentingan yang berbeda. Baik
dari sudut pandang pengusaha, penguasa dan masyarakat awam, bahkan dikalangan
internal perusahaan industri sendiri, perhedaan persepsi dan interpretasi bisa
terjadi.
Pengusaha akan lebih banyak melihat, penanganan
masalah pencemaran lingkungan tersebut, tidak lebih dari sebuah keterpaksaan
dalam rangka membantu mencari dan mempermudah akses pengusaha industri yang
bersangkutan untuk masuk ke pasar global yang memang semakin hari mematok
persyaratan yang semakin ketat, terutama dalam masalah lingkungan hidup.
Persoalan lainnya adalah kendati kemajuan sains dan
industri modern berupaya untuk mewujudkan lingkungan hidup yang lebih baik.
Namun nyatanya, kemajuan itu justru memunculkan beragam polusi, kerusakan
lingkungan hidup, dan terganggunya keseimbangan ekosistem alam.
Padahal seperti dikatakan pengamat
lingkungan hidup, Dr. Nadjamuddin Ramly, M.Si, paradigma memahami lingkungan
adalah bagaimana memperlakukan lingkungan sebagai teman hidup yang harus
dirawat sesuai dengan norma agama, hukum negara dan etika masyarakat, bukan
sebaliknya malah merusak. Pemanfaatan untuk keuntungan materi memang sah-sah
saja, namun semua itu harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Sebab, lingkungan hidup merupakan bagian tak terpisahkan dari jagat raya dan
keberlangsungan kehidupan alam semesta dan pantas diperlakukan secara
manusiawi.
Kearifan Lingkungan
Menteri Lingkungan Hidup di Jakarta mengatakan, bangsa Indonesia
mempunyai kemajemukan akar budaya, agama, adat istiadat, yang kaya kearifan
lingkungan hidup. Dan dapat menjadi modal dalam menjalankan pembangunan di
Indonesia. Kearifan lingkungan telah dimiliki oleh nenek moyang telah menyatu
dalam etika dan norma berkehidupan pada masyarakat Indonesia dalam berinteraksi dengan
alam. kekayaan
bangsa akan kearifan lingkungan ini,
seyogyanya tidak hanya dipandang sebagai mozaik yang indah tetapi dapat
dimanfaatkan sebagai kekuatan untuk menyelenggarakan pembangunan yang selaras
dan harmoni dengan alam.
Kearifan lingkungan yang
memuat nilai sangat mendasar juga terdapat di dalam ajaran semua agama di
negeri ini. Mulai dari Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghuchu merupakan
sumber etika dan norma dalam berinteraksi dengan alam.
‘’Namun sayangnya,
kearifan lingkungan hidup kini sedang mengalami proses eliminasi yang ditandai
dengan perubahan tatanan sosial, berkurangnya nilai kemanusiaan, berkurangnya
kemandirian masyarakat, kemiskinan etika lingkungan sehingga menyebabkan
terdegradasikannya sumberdaya alam dan lingkungan pendukung kehidupan manuisia,’’katanya.
Pandangan rasional Antroposentris, hanya mengandalkan sains
dan teknologi secara sepihak dalam memperlakukan alam untuk kepentingan hidup
manusia, disisi lain telah terbukti membawa bencana lingkungan yang
menyengsarakan manusia. ‘’Bencana-bencana lingkungan yang melanda Indonesia
seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, peluapnya lumpur panas dan sebagainya
dapat menjadi pelajaran dan sekaligus peringatan kepada kita semua untuk
berprilaku lebih arif terhadap alam sekitar,’’katanya.+
Tidak ada komentar:
Posting Komentar