Biasakah Produksi Tambak Udang
Meningkat?
Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat luar
biasa dalam ekspor tambak udang ke
Jepang, Eropa dan Amerika. Namun sayangnya, beberapa petambak merasa
takut karena resiko kegagalan selalu membayangi. Di sisilain, sebagian petambak, mulai enjoy menikmati hasil
tambak yang berlimpah.
Arief Haryono, salah satu petambak yang masih bertahan
di Desa Tegal Cangkring, Jimbrana, Kabupaten Negara, Bali.
Ia terkenal petambak yang ulet pantang menyerah. Bahkan ia rela harus tidur di
areal tambaknya untuk memanen tambak
udang. yang baru berumur 101 hari, rata-rata size 45 tiap
kilogramnya.
Memang secara keseluruhan usaha budidaya tambak
terutama di kawasan pulau dewata, boleh
dibilang mulai bergairah setelah sekian lama mati suri akibat terserang
penyakit akibat penggunaan anti biotik yang berlebihan. Tak hanya di Bali,
kondisi ini juga terjadi di seluruh wilayah
Indonesia
terutama di pulau Jawa..
Padahal, produksi
udang sempat menjadi primadona pada tahun 1980-an khususnya dari spesies udang
windu (Penaeus monodon ) yang terus menurun hingga tahun 1990-an. Jenis
udang windu mulai jarang dibudidaya oleh petambak sekarang ini. Mereka
beranggapan sangat beresiko mengalami kematian pada usia yang masih muda, terserang
penyakit white spot, bintik putih dan virus lainnya.
Kemudian petambak lebih suka membudidaya udang jenis vannamei
(Penaeus vannamei) atau lebih
dikenal dengan udang putih karena dianggap lebih tahan penyakit, sesuai
program Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai bagian revitalisasi sektor
perikanan. Namun kenyataannya di
lapangan, vannamei pun tak luput dari masalah sama yakni mulai dihinggapi
penyakit.
Penyakit yang
selalu menghinggapi udang itu menurut Dr. Sukenda, ahli mikrobiologi dari Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FKIP IPB) disebabkan
penurunan kualitas air dan kerusakan sedimen. Penurunan kualitas air dan
kerusakan sedimen itu terjadi akibat tingginya kandungan bahan nitrogen
anorganik, senyawa organik karbon, dan sulfida.
Pemakaian antibiotik yang berlebihan inilah, penyebab bakteri pathogen menjadi kebal. Bukannya
memberantas patogen malah meningkatkan resistensi dari patogen hingga solusi
pengobatan apapun menjadi tidak efektif.
Penumpukan senyawa kimia itu berasal dari sisa pakan,
kotoran udang, serta pemupukan jangka panjang. Kondisi itu mempengaruhi
kandungan senyawa amoniak, nitrit, nitrat, hidrogen sulfida, dan senyawa karbon
yang bersifat toksik pada sistem tambak udang.
Petambak pun akhirnya perlahan mulai meninggalkan
budidya udang ini, karena kurang menguntungkan. Bahkan tidak sedikit yang
mengalami kebangkrutan. Ini akibat petani tambak yang terlalu mengejar hasil
berlimpah tetapi malah sebaliknya.
Bioteknologi
Diperlukan
Karena penumpukan bahan berbahaya,
dibutuhkan bioteknologi untuk mengubah tumpukan bahan organik tersebut. ‘’Nah,
di sinilah probiotik berperan.,” jelas praktisi pertambakan yang tergabung
dalam Asosiali Produsen Organik Indonesia (APOI). Ir. Tri Haryadi.
Menurut Tri, penggunaan probiotik
di tambak sangat bergantung pada tujuannya. Jika ingin memperbaiki dasar
tambak, dipilih probiotik berisi bakteri yang mampu mereduksi H2S,
amoniak, dan nitrifikasi bakteri, terkait dengan fungsinya sebagai pengurai.
Sedangkan petambak yang ingin menekan pertumbuhan bakteri phatogen misalnya,
menggunakan probiotik yang bersifat biokontrol.
Sekarang ini kata Tri, banyak
petambak mulai mengembangkan sistem budidaya polikultur organik yakni suatu sistem budidaya yang mengandalkan bahan
alami dalam siklus budidayanya. Jadi dalam satu lahan
tambak ada tiga komoditi yakni rumput laut (gracilaria), udang dan bandeng.
Cara ini membina hubungan yang
saling menguntungkan (simbiosis
mutualisme) sehingga tidak lagi diperlukan faktor luar seperti pemberian
pakan pabrikan maupun pestisida yang
dapat membahayakan lingkungan.
Rumput laut penyuplai oksigen
untuk perairan sehingga jumlah oksigen terlarut dapat terjaga dan terjamin.
Selain sebagai tempat sembunyi bagi udang dan bandeng serta tempat
berkumpulnya plankton, rumput laut ini memainkan peran sebagai biofilter pada
perairan tambak.
Di dalam budidaya perikanan
organik, penambahan obat-obatan, pestisida kimia, pakan pabrikan harus
diminimalkan, tujuannya tidak lain agar produk yang dihasilkan bebas dari
residu bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Penggunaan teknik alami dan ramah lingkungan
diprioritaskan, mulai dari pemberian pakan, penanganan dan pengamanan lokasi
budidaya sampai dengan pencegahan dan pengendalian hama dan penyakit.’’Dan
peran probiotik dapat mengurangi pemakaian bahan kimia dan
antibiotik,’’katanya.
Budidaya perikanan organik sudah
banyak dilakukan petambak di Indonesia. Di kawasan Sumatera tepatnya di Desa
Selotong, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sudah
menerapkan sistem budidaya ini dan hasilnya sangat menggembirakan.
Begitu juga di Desa
Rengasdengklok Utara, Kec. Rengasdengklok, Kab. Karawang, Jabar, disponsori petambak H. Endi Muchtarudin, yang berhasil
memanen udang windu sebanyak 22 ton dari 11 petak tambak miliknya. Keberhasilan
lulusan Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta ini, tak lepas dari bioteknologi yang
diterapkannya, yakni pengelolaan air sistem tertutup (closed system) dan penggunaan probiotik tambak dengan sistem polikultur organik.(A)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar