RAKYAT INDONESIA MAKAN NASI SETIAP HARI
Rakyat Indonesia tidak bisa hidup tanpa nasi, karena
budayanya makan nasi. Kita
merasa belum makan kalau belum makan nasi, walaupun perut sudah kenyang makan
camilan. Istilah bekerja
diidentikkan dengan mencari sesuap nasi, demi sesuap nasi, memberikan arti yang
sangat dalam, bahwa nasi sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat
Indonesia. Dalam kebudayaan
agraris masyarakat desa, mereka mewujudkannya dalam upacara dan selamatan atau
syukuran dengan menggunakan beras atau padi sebagai sarana. Mereka memberikan bantuan atau
sumbangan kepada pemilik hajatan dengan beras. Mereka menghias bambu-janur dengan
bulir padi. Bahkan umat
hindu di Bali menutup upacara persembahyangan dengan menaruh beras di kening
dan di jidatnya. Beras
adalah lambang kesuburan yang sekaligus sebagai makanan pokok masyarakat
Indonesia.
Pada saat kita menyuap nasi, apakah kita membeli nasi
atau menanaknya sendiri, kita tidak pernah mau peduli siapa yang yang menanam
padi dari nasi yang kita makan saat ini. Demikian juga saat kita membeli beras
di warung atau di super market, kita juga tidak mau peduli akan jerih payah dan
tetesan keringat petani untuk menghasilkan padi di tengah sawah. Kita juga tidak mau peduli apakah
petani yang menanam padi tersebut sudah mandapatkan keuntungan sehingga
hidupnya bertambah sejahtera atau semakin melarat. Kita juga tidak mau peduli akan luas
sawah yang semakin menyusut, mencapai satu persen pertahun, atau sepuluh persen
per sepuluh tahun, karena tanah sawah yang umumnya datar di daerah perkotaan
sangatlah bagus untuk kawasan industri dan perumahan. Kita juga tidak mau peduli akan debit
air sungai dan sumber-sumber air untuk mengairi sawah menjadi semakin mengecil,
sehingga kemungkinan gagal panen dan kerugian petani semakin meningkat. Kita juga tidak mau peduli tentang
semakin mahalnya harga pupuk, obat dan ongkos merawat tanaman padi, sehingga
biaya produksi untuk menghasilkan sekilo beras menjadi semakin
membengkak. Yang kita
selalu pedulikan adalah, berasnya enak, berkualitas tinggi dan harganya murah,
bila perlu gratis dari pemerintah.
Suara dan teriakan petani akan kerugian dan capeknya
menghasilkan beras tidak didengar oleh siapa-siapa, kecuali oleh sesama petani
padi. Pemerintahpun turut
mengambil jalan pintas dengan mengimpor beras yang harganya disubsidi, sehingga
harga beras menjadi stabil pada tingkat rugi produksi. Produksi padi 26 juta ton pada tahun
1985 mengantarkan Indonesia menjadi negara swasembada beras, yang merupakan
tahun fenomenal dan kebanggaan negara sebagai negara swasembada, sekaligus
sebagai proyek mercusuar, yang penting pernah sawasembada walau satu
kali. Selanjutnya negara
kita rajin mengimpor, karena memang benar-benar kekurangan beras. Walaupun produksi beras meningkat dari
34 juta ton pada 2006 dan 36 juta ton pada 2007, kenyataannya negara kita tetap
mengimpor beras, karena harus ada cadangan, karena penduduknya yang 220 juta
orang itu setiap hari makan beras 300 gram per orang atau dibutuhkan 70 juta
kilogram beras setiap hari.
Jika demikian adanya, maka program swasembada beras tidak
sepenuhnya dibebankan kepada petani padi yang susah mendapat untung, bahkan
sering rugi. Pemerintah juga tidak mengambil jalan pintas dengan mengimpor
terus dan terus mengimpor, yang justru membuat kita tergantung sampai kita
bingung sendiri mencari jalan keluarnya.
Jika ada air di lahan pertanian, pastilah petani ingin
menanam padi, walaupun harga padi murah. Tujuan petani menanam padi adalah agar
aman, agar nyaman, walaupun tidak ada kerja, walaupun tidak ada lauk, walaupun
ada bencana alam dan kerusuhan, asal ada nasi, mereka masih bisa makan. Sebagian besar masyarakat yang bekerja
di luar sektor pertanian selalu berpikir, jika ada uang beraspun bisa
dibeli. Mereka juga lupa,
bahwa, walaupun ada uang, jika tidak ada beras, dimana membeli beras, dan pasti
tidak makan nasi. Disamping
faktor budaya memanam padi,
maka faktor keuntungan juga sangat berpengaruh untuk mendorong petani mau
beramai-ramai menanam padi. Bahkan,
jika memberikan keuntungan yang bagus, maka akan banyak ada pengusaha yang mau
berinvestasi di lahan sawah, sama halnya banyak pengusaha yang mau berinvestasi
di perkebunan, pertambakan atau peternakan. Dalam kondisi menanam padi yang
merugi, maka segala beban kerugian akan ditanggung oleh petani padi dan
pemerintah melakukan pemborosan dana yang tidak perlu dengan terus mengimpor
beras.
Jika harga beras per kg setara dengan dua dolar US,
dengan keuntungan 30%, maka
pemerintah tidak usah pusing memikirkan bagaimana caranya mendorong petani agar
terus menanam padi. Pengusaha
akan datang berduyun-duyun mencari lahan kering yang bisa dijadikan sawah,
dengan teknologi pengairan menggunakan mesin, sumur bor, bendungan dsb. Seluruh
rakyat Indonesia yang ada di desa dan di lahan pertanian akan bekerja saling
membahu untuk menanam padi, karena ada untung. Lapangan pekerjaan di sektor pertanian
padi akan tercipta dengan sendirinya. Jika petani untung, maka seluruh rakyat
indonesia yang sebagian besar petani akan untung juga, maka negara dan rakyat
akan sejahtera. Swasembada
pangan tercapai karena terciptanya keuntungan bersama, bukan sekedar proyek
mercusuar, seperti buah labu yang menaruh bunga di pantatnya, sebenarnya rugi
tetapi berpura-pura untung. Ingatlah
hukum kreativitas: bahwa keuntungan akan meningkatkan kreativitas dan
kesejahteraan. Jika rugi
terus, bagaimana petani bisa diiming-imingi mau terus menanam padi. Ingat : Rakyat Indonesia setiap hari
makan nasi. Kita
harus berani mencari jalan keluar yang membela petani padi.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar